Tuesday, September 19, 2006


さくら(Sakura)
森山直太郎(Moriyama Naotarou)

Bagi anda yang suka atau malahan menjadi penggemar lagu-lagu berbahasa Jepang, maka saya menghadirkan sebuah lagu yang sangat populer dan memiliki keindahan dalam nada dan cerita. Lagu ini terkenal dan mengalami booming di Jepang pada tahun 2004-2006an.
Teks lagu sakura ini saya tulis dalam dua jenis tulisan yaitu tulisan Jepang dan latin. berikut ini teksnya.

僕らはきっと待ってる
bokurawa wa kitto matteru
君とまた合えるひびを
kimi to mata aeru hibi o
桜並木の道の上で
sakura namiki no michi no ue de
手を振り叫ぶよ
te o furi sakebuyo

どんなに苦しい時も
donna ni kurushii tokimo
君は笑っているから
kimi wa waratte iru kara
挫けそうになりかけても
kujikesouni nari kaketemo
頑張れる気がしたよ
ganbareru ki ga shita yo

霞ゆく景色の中に
kasumi yuku keshiki no naka ni
あの日の唄が聴こえる
ano hi no uta ga kikoeru

桜桜今咲き誇る
sakura sakura ima saki hokoru
刹那に散り行く運命と知って
setsuna ni chiri yuku sadame to shitte
さらば友よ、旅立ちの時
saraba tomo yo,tabidachi no toki
変わらないその想いを、今
kawaranai sono omoi o ima

今なら言えるだろうか
ima nara ieru darouka
偽りのない言葉
itsuwari no nai kotoba
輝ける君の未来を
kagayakeru kimi no mirai o
願う本当の言葉
negau hontou no kotoba

移り行く街はまるで
utsuri yuku michi wa maru de
僕らを急かすように
bokura o sekasu youni

桜桜ただ舞い落ちる
sakura sakura tada mai ochiru
いつか生まれ変わる時を信じ
itsuka umarekawaru toki o shinji
泣くな友よ今惜別の時
naku na tomo yo ima sekibetsu no toki
飾らないあの笑顔でさあ
kazaranai ano egao de saa

桜桜いざ舞い上がれ
sakura sakura iza mai agare
永久にさんざめく光を浴びて
towa ni sanzameku hikari o abite
さらば友よ、またこの場所で会おう
saraba tomo yo mata kono basho de aou
桜まい散る道の
sakura mai chiru michi no
桜まい散る道の上で
sakura mai chi ru michi no ue de

iwan setiya budi
pengajar japanologi

Monday, September 18, 2006

Sejarah yang sama
(sebuah perbandingan antara sejarah Indonesia dan sejarah Jepang)

Anda tentu pernah mendengar tentang istilah “Sejarah itu berulang”. Peristiwa yang puluhan tahun lalu terjadi bisa terjadi lagi di masa kemudian dengan tokoh dan waktu yang berbeda. Akan tetapi peristiwa yang sama tidak hanya bisa terjadi di tempat dan masyarakat yang sama. Bahkan peristiwa yang sama bisa terjadi di dua daerah yang berjauhan dalam waktu yang hampir bersamaan.

Anda tentulah tahu tentang kerajaan Singosari. Di akhir keruntuhan kerajaan ini terjadi sebuah kudeta berdarah yang dilakukan Raja Gelang-gelang dari Kediri. Raja Gelang-gelang yang notabene adalah bawahan Raja Singasari, melakukan konspirasi dengan Arya Wiraraja, seorang bupati dari Madura.

Raja Gelang-gelang ingin meruntuhkan dinasti Singasari untuk mendirikan kerajaan Kediri. Cara yang dipakai adalah dengan melakukan pemberontakan dan membunuh raja Kertanegara. Akan tetapi, melihat bagaimana besarnya kekuatan Singasari, Raja gelang-gelang mencoba menawarkan kerjasama dengan Arya Wiraraja untuk menggulingkan kerajaan Singasari dengan imbalan jika pemberontakan nanti berhasil, Arya Wiraraja akan diangkat sebagai Patih(setingkat perdana menteri).

Pemberontakan terjadi, Kertanegara tewas, Singasari runtuh, dan berdirilah kerajaan Kediri dengan Gelang-gelang sebagai rajanya. Akan tetapi janji manis yang dulu pernah diucapan Gelang-gelang kepada Arya Wiraraja tidak terbukti. Dia malah mengangkat kerabatnya untuk jabatan tersebut. Merasa dikhianati, Arya Wiraraja menarik pasukannya dan kemudian bergabung dengan pasukan Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang berniat untuk melakukan pemberontakan terhadap Kediri. Akhirnya pemberontakan tersebut meruntuhkan Kediri dan memunculkan kerajaan baru bernama Majapahit.

Peristiwa di atas sama dengan yang terjadi di Jepang pada zaman Kamakura. Pada waktu itu Jepang dipimpin oleh Shogun atau penglima perang. Kaisar hanyalah sebagai simbol saja dan bukan sebagai pemerintah Jepang.

Kaisar Godaigo, yang menginginkan kekuasan kembali kepada kaisar seperti dulu, bekerjasama dengan Ashikaga Takauji, seorang pimpinan samurai yang cukup kuat untuk menggulingkan Pemerintah militer Kamakura. Janji yang sama seperti janji Gelang-gelang terucap, bahwa Ashikaga akan dijadikan Menteri Utama (semacam Perdana Menteri) jika rencana tersebut terwujud. Dengan kekuatan gabungan dan juga karena lemahnya pemerintah Kamakura, Kaisar dapat mencapai keinginannya untuk mendapat kembali kekuasaan. Akan tetapi, seperti yang terjadi pada Arya Wiraraja, janji itu tidak ditepati dan jabatan Menteri Utama jatuh pada keluarga istana. Ashika marah, melakukan pemberontakan dan mendirikan pemerintahan militer Muromachi dengan dirinya sebagai Shogun.

Melihat kedua peristiwa di atas, terbukti bahwa di dua tempat yang berbeda dan berjauhan dapat terjadi suatu peristiwa yang sama.

Iwan Setiya Budi
Pengajar Japanologi

Celana Baggy Pekerja Bangunan Jepang

Apabila anda sempat berkunjung ke Jepang dan menemui sejumlah pekerja bangunan di sana, maka mungkin akan tercetus dalam kepala anda bahwa mengapa para pekerja bangunan di Jepang banyak yang terlihat memakai celana yang bawahnya gombrang seperti celana aladin? Apakah itu sebuah mode bagi pekerja? Atau ada sebuah manfaat lebih yang didapat dari celana gombrang tersebut dibanding celana biasa?

Celana gombrang tersebut yang oleh orang jepang disebut sebagai bukabuka zubon (celana baggy) atau nikka zubon (dari bahasa inggris knickerbockers) memang sering dipakai oleh para pekerja bangunan di Jepang. Akan tetapi jika melihat dari sejarahnya kita akan tahu bahwa celana tersebut bukanlah hasil budaya asli bangsa Jepang. Celana tersebut merupakan hasil proses adaptasi budaya asing yaitu budaya ujung celana yang dimasukkan ke sepatu bot yang biasa dilakukan oleh militer.

Sejarah menyebutkan bahwa pakaian para pengrajin kayu pada zaman dulu adalah pakaian kimono yang panjangnya sampai di bawah paha sedikit (momohiki). Akan tetapi ketika harga pakaian menjadi mahal, maka banyak pekerja yang berganti menggunakan pakaian lain yang lebih murah, dan model celana gombrang ala militer ini menjadi pilihan.

Sebuah sumber dari Toraichi Co. Ltd, perusahaan besar yang bergerak di bidang alat bangunan yang memproduksi jenis celana ini mengatakan bahwa model ini walau terkesan tidak ramping dan bias membahayakan pekerja apabila nanti terkait dengan paku atau alat bangunan, tetapi sebuah kenyataan bahwa ketika pembangunan jembatan seto ohasi yang menghubungkan pulau Honshu dan shikoku memakan banyak korban dari para pekerja, tetapi ternyata tidak ada satupun pekerja yang meninggal menggunakan jenis pakaian ini. Setelah itu dikampanyekan bahwa jika anda tidak ingin terluka dalam pekerjaan anda sebagai tukang bangunan, maka pakailah celana produksi toraichi.

Jenis celana ini ternyata tidak hanya digemari oleh pekerja banguan, tetapi juga oleh anak muda karena penampilannya yang trendi, bergaya ala ninja jepang.

Iwan Setiya Budi
Pengajar Japanologi

Bunuh Diri dan Sepatu

Sudah menjadi sebuah imaji bahwa jika orang jepang hendak melakukan bunuh diri, maka dia akan mencopot sepatunya dulu sebelum melakukannya. Di Negara yang angka bunuh dirinya terbesar di antara Negara-negara G7 ini selalu memperlihatkan dan menanamkan imaji itu melalui komik dan film. Ketika ada sebuah foto yang memperlihatkan sepasang sepatu di bawah pohon, maka gambaran telah terjadi sebuah adegan bunuh diri segera terbentuk.
Seseorang asing bernama laura B di yokohoma menemukan sepasang sepatu tergeletak rapi di atas tanah ketika dia sedang hiking di gunung fuji. Dia kemudian memotretnya dan mengirimkan foto tersebut ke petugas taman gunung fuji. Sebuah reaksi yang sangat besar diperlihatkan petugas di mana di kemudian menghubungi polisi dan menyisiri daerah tersebut untuk mencari seandainya terjadi bunuh diri. (japan times 17 januari 2006)
Mengapa sepatu yang tersusun rapi tersebut identik dengan bunuh diri? dan mengapa jika hendak melakukan bunuh diri harus melepas sepatu terlebih dahulu? Banyak orang jepang yang ditemui dan ditanyai tentang masalah ini tidak mempunyai jawaban yang pasti selain bahwa memang itu adalah nantonaku (ya memang seperti itu). Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa mencopot sepatu berarti tidak membawa kotoran ke dunia lain setelah meninggal sebagaimana seorang samurai yang harus berpakaian bersih terlebih dahulu sebelum melakukan bunuh diri.
(japan times 17 januari 2006)

Iwan Setiya Budi
Pengajar Japanologi

Sunday, September 17, 2006


Jepang, Dunia Para Manula

Musim dingin pada awal tahun 2006 sangat berbeda dengan musim dingin di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun ini banyak kecelakaan baik mobil maupun kereta yang disebabkan oleh lebatnya salju yang turun. Perjalanan melalui bis-bis malam dari Tokyo ke Osaka banyak yang dibatalkan secara mendadak karena keadaan yang tidak memungkinkan bis untuk melaju dengan baik.
Hujan salju yang tidak seperti biasanya ini juga menyebabkan lampu mati yang tentu saja merugikan banyak pihak. Tidak hanya perkantoran yang sempat terhenti aktifitasnya, tetapi juga perumahan. Ketika listrik tidak berfungsi, maka keadaan akan sangat mengenaskan karena orang Jepang banyak yang menggunakan alat pemanas listrik di musim dingin ini.
Sebuah berita yang sangat mengejutkan adalah tentang meninggalnya 95 orang akibat salju yang tersebar di beberapa daerah dan korban terbesar adalah sebuah daerah kecil di kota Niigata . Hujan salju yang dikatakan oleh para peneliti cuaca sebagai hujan salju besar ulangan 46 tahun silam ini memang sangat hebat, tetapi jumlah korban yang besar dan terpusat di daerah ini membuat pertanyaan besar, yaitu apakah hanya hujan salju saja penyebabnya? Ternyata menurut harian Asahi Shinbun edisi tanggal 11 januari 2006, bukan hanya salju yang lebat saja yang menjadi penyebab kematian banyak orang tersebut, tetapi jumlah manula atau orang yang berusia lebih dari 65 tahunlah yang menjadi penyebab lainnya. Jumlah manula yang begitu banyak dan jumlah pemuda yang sangat sedikit membuat kejadian tersebut tidaklah terelakkan.
Banyaknya jumlah manula di desa tersebut sebenarnya menjadi salah satu gambaran tentang kondisi Jepang dewasa ini. Jumlah manula meningkat dengan pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sekarang di dalam lima orang Jepang terdapat satu orang manula atau sekitar 20 persen dari 120 juta penduduk Jepang adalah manula. Besarnya jumlah manula ini membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang penyebab besarnya jumlah manula, kegiatan apa sajakah yang dilakukan dan apa pengaruh yang ditimbulkan oleh fenomena ini mengingat usia manula adalah usia tidak produktif. Penulis dalam mengumpulkan data melalui koran, internet, juga mewawancarai dua orang Jepang.

Arti manula
Manula atau koureisha dalam bahasa Jepang secara arti kebahasaan adalah orang yang telah melampaui usia tertentu di mana usia tersebut tergolong usia lanjut. Dalam budaya Jepang usia lanjut adalah lebih 65 tahun sehingga penulis juga menggunakan standar tersebut dalam penyebutan manula di tulisan ini.

Faktor penyebab meningkatnya jumlah manula
Meningkatnya jumlah prosentase manula mempunyai dua penyebab yaitu sebab internal atau dari jumlah manula itu sendiri dan sebab eksternal, yaitu jumlah pembanding atau jumlah penduduk yang berusia di bawah 65 tahun.

a. Sebab internal
Meningkatnya teknologi ilmu kedokteran membuat angka rata-rata hidup orang Jepang meningkat. Banyak penyakit yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan, menjadi bisa sehingga angka kematian dapat ditekan. Gaya hidup sehat orang Jepang yang terbiasa makan makanan bergizi tinggi dan berjalan kaki membuat mereka terjaga kesehatannya walaupun telah berusia lanjut. Angka rata-rata harapan hidup orang Jepang adalah 72 tahun untuk laki-laki dan 76 tahun untuk perempuan.

b. Sebab eksternal
Besarnya prosentase manula tidaklah terlepas dari menurunnya angka pembandingnya yaitu jumlah orang yang belum berusia 65 tahun. Menurunnya jumlah tersebut disebabkan karena menurunnya jumlah bayi yang lahir di akhir-akhir ini. Banyaknya orang Jepang yang tidak menikah juga menjadi salah satu penyebab menurunnya jumlah kelahiran. Meskipun menikah, banyak pasangan suami-istri yang memutuskan untuk mempunyai paling banyak dua orang saja atau malah memutuskan untuk tidak memiliki anak. Menurut sebuah penelitian yang diadakan oleh harian Asahi Shinbun, jumlah rata-rata kelahiran bayi pada tahun 1995 adalah 1,43. Artinya rata-rata sebuah keluarga Jepang memiliki tidak lebih dari dua orang anak . Ada banyak alasan mengapa keputusan untuk tidak mempunyai banyak anak. Alasan yang sering didengar adalah semakin sulitnya tingkat perekonomian Jepang, sehingga untuk membesarkan anak, menyekolahkan dengan layak sampai tingkat perguruan tinggi membutuhkan banyak biaya.

Kegiatan para manula
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jepang pada bulan september tahun 2005, banyak hal yang membuat penulis terkejut. Salah satunya adalah banyaknya manula yang berada di tempat-tempat umum dan menikmati kegiatan dengan sesamanya. Penulis sering melihat para manula berada di taman, tempat perbelanjaan, festival, dsb.. Para manula juga sering penulis dapati menjadi seorang tenaga sukarelawan dalam kegiatan-kegiatan yang brsifat sosial.
Sebuah perbedaan mencolok terlihat antara manula di Indonesia dan manula di Jepang. Sebagaimana kita tahu bahwa aktifitas manula di Indonesia biasanya terpusat di rumah dan jarang dilakukan di luar rumah. Andaikatapun di luar, pastilah itu berhubungan dengan aktifitas keluarga atau aktifitas keagamaan.
Aktifitas manula di Jepang lebih bervariasi dan banyak yang dilakukan di luar. Selepas pensiun dari pekerjaannya, manula Jepang tidaklah terus tinggal dengan santai di rumah, tetapi banyak melakukan kegiatan yang bersifat hobi ataupun sosial di luar. Banyak orang Jepang yang ketika masa kuliah terlalu sibuk dengan pelajarannya, dan ketika waktu bekerja terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak ada waktu untuk melakukan hobinya. Keinginan sejak kecil untuk melakukan suatu aktifitas harus tertahan dalam waktu yang lama sampai ia benar-benar mempunyai waktu atau dalam hal ini dia telah pensiun dari pekerjaan rutinnya. Jadi tidaklah heran melihat orang Jepang yang telah pensiun memulai suatu hobi seperti main iceskate, musik, atau bahkan memasuki dunia perkuliahan lagi. Dari sini terlihat bahwa orang Jepang tidaklah mau berada di rumah saja selepas dia pensiun dari pekerjaannya.

Pengaruh meningkatnya prosentase manula
Sudah menjadi pemahaman bahwa manula adalah orang yang telah berusia lebih dari 65 tahun. Sebuah aturan yang diterapkan di perusahaan atau perkantoran baik instansi pemerintah maupun swasta tentang masa kerja adalah 55 tahun. Jika sudah melampaui usia tersebut maka seorang pekerja akan secara otomatis mengundurkan diri dari instansi tempat dia bekerja.
Semakin banyaknya pekerja yang pensiun dari pekerjaannya dan memasuki tingkat manula tentu saja akan membuat masalah bagi perusahaan secara khusus dan negara secara umum yaitu berkurangnya tenaga kerja. Terus bagaimana hal ini disikapi oleh manajemen perusahaan maupun pemerintah? Satu masalah lagi muncul adalah bagaimana para manula ini mengusahakan untuk mencukupi kebutuhan dirinya mengingat bahwa ia akan melewatkan masa yang panjang dalam keadaan tidak berpenghasilan?

Aturan masa kerja yang fleksibel
Untuk mensiasati kurangnya tenaga kerja, banyak perusahaan yang mulai melakukan pelebaran masa kerja baik awal maupun akhir. Awal dalam artian usia minimal bekerja dipermuda sehingga seorang yang masih muda yang sebelumnya belum boleh bekerja kini bisa bekerja di perusahaan dan akhir dalam artian apabila seseorang dirasakan masih bisa bermanfaat bagi perusahaan dan kinerjanya tidak terpengaruh usianya, maka atas permintaan perusahaan pegawai tersebut tetap bisa melanjutkan pekerjaannya di perusahaan.
Lembaga-lembaga sosial juga banyak menggunakan tenaga orang yang sudah pensiun untuk bekerja di berbagai bidang seperti menjadi pengajar bagi anak-anak ataupun yang mengajarkan bahasa maupun kebudayaan kepada orang asing di Jepang. Sebagai contoh di kota Saitama terdapat sebuah lembaga sosial yang bernama puratto saron. Lembaga ini banyak dimanfaatkan oleh orang asing yang berada di sekitar kota Saitama untuk belajar tentang bahasa maupun budaya. Pengajar di lembaga ini adalah tenaga sukarelawan yang kebanyakan adalah para manula. Walaupun manula, semangat mengajar dan berteman mereka sangatlah tinggi sehingga perasaan bahwa mereka adalah manula sedikit banyak berkurang.
Di lembaga yang sama, para manula juga banyak membuat kelompok yang bertujuan untuk melakukan sebuah hobi secara bersama-sama. Kelompok percakapan bahasa Inggris adalah salah satunya. Mereka setiap hari sabtu datang untuk bercakap-cakap dengan kelompoknya menggunakan bahasa inggris dan tak jarang menggunakan bahasa yang sama apabila melihat orang asing datang ke lembaga tersebut.
Banyak juga para manula yang bekerja sebagai tenaga sukarelawan di luar negeri. Mereka membantu negara-negara lain dalam bidang yang dikuasainya seperti pendidikan, kesehatan, kebudayaan dll.
Kehadiran para manula yang menjadi tenaga sukarelawan tentunya sangat membantu lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik.

Asuransi pensiun
Pemerintah Jepang mewajibkan orang Jepang untuk mengikuti program asuransi yang akan menjamin keberlangsungan hidup orang Jepang jika dia pensiun dari kerjanya nanti. Adanya asuransi ini sangat membantu para manula untuk membiayai hidupnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Besarnya asuransi bahkan bisa digunakan untuk membiayai kegiatannya seperti hobi atau bahkan bisa digunakan untuk bepergian ke luar negeri. Jadi walaupun sudah pensiun dan tidak mempunyai penghasilan seperti sebelumnya, para manula Jepang tetap dapat menjalani sisa hidupnya dengan nyaman.
Kesimpulan
Meningkatnya jumlah manula di Jepang dewasa ini masih bisa dianggap sebuah kewajaran dan tidaklah membawa pengaruh yang cukup besar terhadap negara. Akan tetapi melihat kecenderungan yang menunjukkan jumlah tersebut akan selalu naik, tentunya memaksa pemerintah Jepang untuk membuat sebuah strategi menanggulangi semua masalah yang timbul seiring dengan meningkatnya jumlah tersebut.

Daftar Pustaka
Kondou, Atsuko, Chuu-Joukyuu Nihongo kyoukasho, Nihon e no shoutai, University of Tokyo, 2001
Asahi Shinbun, 11 Januari 2006
http://www.daiwahouse.co.jp/business/silver/databox/03.html
http://www.koreisha.com/news.html
http.www.asahi.com

Kata tunjuk dalam bahasa Jepang

Dalam setiap bahasa pasti terdapat kata tunjuk. Kata tunjuk adalah kata yang dipakai jika kita ingin menunjuk sebuah benda yang berada di sekitar kita atau benda yang berada dalam pembicaraan. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata "ini" dan "itu", dan dalam bahasa Inggris kita mengenal kata "this" dan "that".
Berbeda dengan kedua bahasa tersebut, bahasa Jepang mengenal tiga kata tunjuk (lebih banyak dari bahasa Inggris dong)yaitu "kore", "sore" dan "are". "kore" dapat dipadankan dengan kata tunjuk "ini" atau "this".misalnya seperti di bawah ini:
Kore wa hon desu (hon artinya buku).
Jadi kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah Ini Buku.
Sedangkan "sore" dan "are" sepadan dengan "itu" atau "that". trus bagaimana dong penggunaannya? kapan kita pakai "sore" dan kapan kita pakai "are"?. Mungkin akan susah bagi kita yang belum mengenal bahasa Jepang, tapi akan saya jelaskan dengan singkat bahwa dengan singkat perbedaan "kore", "sore" dan "are" (jadi tidak cuma sore dan are saja.
Begini, dalam pembicaraan akan terdapat orang yang berbicara(kita sebut saja pembicara) dan orang yang mendengar (kita sebut lawan bicara). Nah, "kore" digunakan untuk menunjuk benda yang berada di dekat atau di area pembicara. "Sore" digunakan untuk menunjuk benda yang berada di area lawan bicara. sedangkan "are" digunakan untuk menunjuk benda yang berada di luar area pembicara dan lawan bicara. Sudah paham gak nih? Mungkin akan lebih paham jika diilustrasikan dengan percakapan sebagai berikut:
sebuah percakapan antara Adi dan Susan di sebuah kafe.
Adi : Kore, boku no atarashii tokei.
(Ini jam baruku)
Susan: Waa, sore, suteki desune.
(wah, itu sangat indah ya)
Adi : De, are boku no atarashii benzu.
(dan itu mobil mercy baruku)
Susan:Waa, yappari kanemochi desune.
(wah, memang kau kaya ya)
jadi Susan mengucapkan "sore" karena bendanya(jam) berada di area Adi(lawan bicara) dan Adi mengucapkan "are" karena bendanya(mobil mercy) berada di luar area kedua orang tersebut.
Saya harap penjelasan tadi cukup membuat pembaca paham tentang kata tunjuk dalam bahasa Jepang. Apabila belum paham juga, ada sebuah cara lagi untuk memahami perbedaan kata tunjuk bahasa jepang, cuma yang ini hanya untuk orang yang memahami bahasa Jawa saja. "kore" dapat diartikan dengan "iki", "sore" sama dengan "kuwi" dan "are" sama dengan "kae".


Iwan Setiya Budi
Pengajar Japanologi